Akuntansi Perusahaan_Perpajakan

Kanjenk Mas Ayu Cahya diningrat

www.princezz-manja.es.tc

Rabu, 23 November 2011

Perpajakan Indonesia



 Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio,
sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk
ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan
canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan
cara "memaksa" Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara
system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat
dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.

Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa
berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi
pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
a. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
b. Pemilik mobil mewah;
c. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
d. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. Orang asing;
f. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-
lain, yang belum ber-NPWP.

Pemberian NPWP secara jabatan tersebut akan dilakukan sejak tanggal 1
September 2005. Dengan demikian diharapkan jumlah Wajib Pajak akan
mencapai 10 juta Wajib Pajak pada tanggal 20 Oktober 2005.

Apabila pemberian NPWP tersebut dilakukan secara serentak, maka dalam
waktu singkat akan terdapat banyak Wajib Pajak baru yang belum atau
bahkan tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukannya selaku wajib pajak (setelah memperoleh NPWP).
Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan system self assessment,
oleh karena itu wajib pajak harus memahami hak dan kewajiban
perpajakannya agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan
baik. Hal ini agar wajib pajak terhindar dari masalah-masalah yang
mungkin timbul dikemudian hari yang mungkin merugikan.

II. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak secara umum

Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-
undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak
sebagai berikut :

a. Kewajiban Wajib Pajak.

1) Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP.

Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak
(belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi
syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan.
Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka
telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak
hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu,
Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban
dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

2) Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak.

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga
berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan
administrasi perpajakan.

3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

4) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor
pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

5) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas
negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi.

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

6) Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan,
tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha
harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena
selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.

7) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib :
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
• Memberikan keterangan yang diperlukan.


b. Hak Wajib Pajak

1) Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT.
Untuk Surat Pemberitahuan yang disampaikan dengan pos tercatat
melalui kantor pos dan giro, maka tanggal pegiriman dianggap sebagai
tanggal penerimaan.

2) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan
penyampaian SPT. Apabila Wajib Pajak ternyata tidak dapat
menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca
perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh
perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling
lama 6 (enam) bulan.

3) Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan ke KPP. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat
Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak
untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.

4) Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan
permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan
kemampuannya. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan
yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah
ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk
paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang
benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

5) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan
angsuran PPh Pasal 25.

6) Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.

7) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan
salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam
Surat Ketetapan Pajak.

8) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas
surat keberatannya. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan

9) Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak
atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

10) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan
atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan
ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain
yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.


III. Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya. Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban
untuk memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan,
bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPn BM.

Kewajiban pajak yang harus dilakukan bagi masing-masing "jenis" wajib
pajak berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang
kewajiban pajak bagi wajib pajak orang pribadi, baik yang berstatus
sebagai karyawan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
serta kewajiban pajak bagi wajib pajak badan.

A. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi Karyawan yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan).


1. WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu
pemberi kerja.


Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada
satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak
sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki
kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulan.

Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan
menyetorkannya ke Kas Negara serta melaporkannya ke kantor pelayanan
pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak
orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih
setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh
Pasal 21.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai
karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan.
(Form 1770-S). Apabila wajib pajak orang pribadi ini tidak
menerima/memperoleh penghasilan lain selain dari penghasilan yang
diperoleh dari satu pemberi kerja, maka pada saat menyampaikan SPT
Tahunan tidak akan terdapat PPh yang kurang dibayar.

SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus dilaporkan 3
bulan setelah berakhirnya tahun pajak (pada tanggal 31 Maret tahun
berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S
tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan
sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT
PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp
250.000,-

Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara diancam dengan sanksi pidana dan
denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan
sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.

Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih
dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari
pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan obyek PPh final,
maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga
memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap
bulan.

Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang
dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.

Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka
akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan
(48%). Sedangkan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh 25 akan
dikenakan sanksi sebesar Rp 50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan
sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th
2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.

3. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain
yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk
melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk
membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh
final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi
pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari
nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan
nilai NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak
(i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini
dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak
(penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final
pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari kegiatan
Jasa Konstruksi (sebagai usaha sampingan misalnya), Apabila pemakai
jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka PPh-nya wajib dibayar
sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak
(Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final
pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto.


B Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.


Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan
memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus
dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk
membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan
dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan
atau terutang kepada karyawannya.

Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban
dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang telah
ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh
Final pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh
Final Pasal 4 (2).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang
melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP
adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran
(SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib
pajak orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan
berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26,
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk
satu SPT Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

o Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
o Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.


d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib
Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri dari :

o Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas;
o Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang
telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan urat Penunjukan Sebagai
Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP teraftar.
WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib
memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.

Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa, maka WPOP
tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 oleh Dirjen
pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh 23 yang
terutang atas pembaywan sewa tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas penghasilan
berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
yang diterima atay diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Apabila WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas melakukan
transaksi dengan wajib pajak luar negeri sehubungan dengan
penghasilan tersebut diatas maka memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetor dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
(PPh Pasal 26).

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh
final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal
4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal
4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang
tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai
NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan
tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2).
Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang
atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan
wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang
terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto
nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh
wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan
melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa)
wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang
terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

 4%èa) Jasa Perencanaan Konstruksi  (empat persen) dari jumlah
bruto;
èb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
èc) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah
bruto.


2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada
pihak lain.

Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi tertentu
sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas transaksi persewaan Tanah
dan atau bangunan. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang dapat
ditunjuk sebagai pemotong PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau
bangunan oleh DJP adalah:

• Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas yang telah terdafta sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri,
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong
Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dari
KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh final atas penghasilan dari transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang
kepada pihak lain.

PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan
tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib pajak
(pemotong) terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila
terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga
tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT 1770).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir
tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim
maka SPT Tahunan wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret
tahun berikutnya.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;


b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770), Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan
PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun
bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.


C Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya.

Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara pemenuhan
kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-
undang No 17 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan
PPn BM yang ketentuannya diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah
sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanaannya.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan, meskipun tidak
terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak
menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka
wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebear Rp 50.000 untuk
satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang
terutang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya
PPh yang terutang adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai
transaksi dengan nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak
yang dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-unang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10
bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan
oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT
Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk
usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg ditetapkan DJP) selain
jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 23; yaitu
badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri
lainnya; yang membayar/ memberikan penghasilan yang merupakan obyek
PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 26.
Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah, subyek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan
yang merupakan obyek PPh pasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang merupakan
obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WP Badan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak memiliki
sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah atau besar) dari
kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa
merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini
pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

 4% (empat persen)èa) Jasa Perencanaan Konstruksi  dari jumlah
bruto;
 2% (duaèb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  persen) dari jumlah
bruto;
 4%èc) Jasa Pengawasan Konstruksi  (empat persen) dari jumlah
bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang kepada
pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan penghasilan
tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh final diwajibkan untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan
tersebut ke kantor pajak.

Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final adalah :
• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final, wajib
pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang. Pelaporan PPh final
dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak badan
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final,
sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771). SPT
Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun
pajak/tahun buku.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan selaku
pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh
pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir,
Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21
yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.


READ MORE - Perpajakan Indonesia

Akuntansi Manajemen



Definisi akuntansi manajemen menurut Chartered Institute of Management Accountant (1994:30) yaitu: Penyatuan bagian manajemen yang mencakup, penyajian dan penafsiran informasi yang digunakan untuk perumusan strategi, aktivitas perencanaan dan pengendalian, pembuatan keputusan, optimalisasi penggunaan sumber daya, pengungkapan kepada pemilik dan pihak luar, pengungkapan kepada pekerja, pengamanan asset… Bagian integral dari manajemen yang berkaitan dengan proses identifikasi penyajian dan interpretasi/penafsiran atas informasi yang berguna untuk:
  • Merumuskan strategi.
  • Proses perencanaan dan pengendalian.
  • Pengambilan keputusan.
  • Optimalisasi keputusan.
  • Pengungkapan pemegang saham dan pihak luar.
  • Pengungkapan entitas organisasi bagi karyawan.
  • Perlindungan atas asset organisasi.

Sejarah Perkembangan Akuntansi Manajemen Sektor Publik

Akuntansi sektor publik pada dasarnya dipengaruhi perkembangan pemikiran manajemen. Perkembangan pemikiran ini tidak terlepas dari knowledge management. Knowledge management ini sendiri memengaruhi peran daripada akuntansi manajemen. Pada dasarnya, akuntansi manajemen ini lebih didasari oleh praktik:
  • Factory Accounting.
  • Budgeting.
  • Cost Accounting.

Proses Akuntansi Manajemen

Proses akuntansi manajemen dapat dikembangkan dengan berbagai metode, antara lain:
  • Flatening struktur manajemen merupakan proses penyederhanaan struktur.
  • Menggunakan cross fungsional team merupakan proses saling isi menurut keahlian dan kekuatan antara tim yang terlibat.
  • Menyampaikan informasi secara cepat dan tepat merupakan teknik penyaringan informasi yang relevan.
  • Pendelegasian kuasa kepada tenaga kerja merupakan teknik pengembangan kekuatan tim melalui pemberian kepercayaan.

Peran dan Tujuan Akuntansi Manajemen Sektor Publik

Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian organisasi. Tuntutan mengenai perlunya pengendalian atas berbagai kegiatan pemerintah, khususnya yang berimplikasi uang, dari waktu ke waktu semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat praktik KKN di waktu yang lalu tidak saja telah mengakibatkan berkurangnya percepatan pembangunan, melainkan juga telah menimbulkan kesenjangan baik antara wilayah, sektor dan golongan serta merugikan khususnya bagi lapisan masyarakat bawah. Peran fundamental akuntansi manajemen di organisasi sektor publik adalah membantu manajer/pimpinan dengan informasi akuntansi yang dibutuhkan agar fungsi perencanaan dan pengendalian dapat dilakukan. Secara rinci, tujuan umum tersebut dapat diturunkan menjadi:
  • Membantu manajemen memformulasi kebijakan organisasi.
  • Membantu manajemen dalam proses perencanaan organisasi.
  • Membantu manajemen dalam mengendalikan operasi/kegiatan organisasi.

READ MORE - Akuntansi Manajemen

Tarif Pajak



Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB.
Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.
”Saat ini, basis data PBB mencapai 92 juta obyek pajak. Itu akan kami distribusikan secara bertahap kepada daerah. Namun, daerah harus memiliki perangkat teknologi informasi yang kuat karena mengelola data yang sangat besar itu bukan perkara mudah. Jika teknologinya tidak kuat, bisa ada kesalahan penetapan NJOP,” ungkap Direktur Ekstensifikasi Pajak Direktorat Jenderal Pajak Hartoyo di Jakarta, Jumat (9/10).
Perubahan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan itu ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada 15 September 2009.
Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.
Bayar PBB makin ringan
Selain itu, besaran NJOPTKP juga diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12 juta, kini paling rendah Rp 10 juta per obyek pajak.
Artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran PBB yang harus ditanggung masyarakat.
Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha.
Sebagai ilustrasi, jika seorang warga memiliki tanah seluas 800 meter persegi dengan harga jual Rp 300.000 per meter persegi, NJOP-nya mencapai Rp 240 juta.
Kemudian dia juga memiliki rumah seluas 400 meter persegi, taman (200 meter persegi), dan pagar setinggi 1,5 meter dan panjang 120 meter dengan nilai jual masing-masing Rp 350.000, Rp 50.000, dan 175.000 per meter persegi, sehingga NJOP-nya adalah Rp 181,5 juta.
NJOP rumah, taman, dan pagar harus dikurangi NJOPTKP terlebih dahulu, katakan tarifnya Rp 10 juta, sehingga nilai jual bangunan kena pajak hanya Rp 171,5 juta.
Dengan demikian, total nilai jual obyek pajak kena pajak baik tanah, rumah, taman, dan pagar mencapai Rp 411,5 juta. Angka inilah yang dikalikan dengan tarif PBB-nya, misalnya ditetapkan 0,2 persen, sehingga PBB yang harus dibayar adalah Rp 823.000.
”Pemeriksaan atas wajib pajak PBB yang bermasalah bisa dilakukan pemda bersama Ditjen Pajak. Adapun pembukuan PBB Perdesaan dan Perkotaan bisa dilakukan di daerah dan Ditjen Pajak. Daerah harus memiliki tim penilai aset yang kuat untuk menetapkan besaran NJOP-nya,” ujar Hartoyo.
Anggota DPR sekaligus anggota Panitia Khusus RUU PDRD, Nursanita Nasution, mengatakan, PBB dialihkan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam waktu lima tahun terhitung sejak UU PDRD disahkan karena daerah sendiri membutuhkan persiapan untuk menanggung kewenangan baru itu.
Sumber: www.kompas.com


READ MORE - Tarif Pajak

Senin, 14 November 2011

Sistem Akuntansi

Gambaran Umum Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat


Dasar Hukum Penyelenggaraan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8 menyatakan bahwa ”dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.”
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 9 menyatakan bahwa ”Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.”
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa ”Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat (20) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Negara.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51 ayat (2) menyatakan bahwa “Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/Lembaga masing-masing.”
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa “agar informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.”
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2005 Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa “setelah Tahun Anggaran 2005 berakhir, Pemerintah menyusun Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 berupa Laporan Keuangan.”
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Pasal 60 ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban penggunaan dana bagian anggaran yang dikuasainya berupa laporan realisasi anggaran dan neraca Kementerian Negara/Lembaga bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan. Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 72 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Ruang Lingkup Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAAP) adalah “serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat.” (Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal. 1)
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAAP) berlaku untuk seluruh unit organisasi Pemerintah Pusat dan unit akuntansi pada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan serta pelaksanaan Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.
(Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal. 4) Tidak termasuk dalam ruang lingkup SAPP adalah :
a. Pemerintah Daerah (sumber dananya berasal dari APBD)
b. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang terdiri dari :
c. Perusahaan Perseroan, dan
d. Perusahaan Umum.
e. Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah
Tujuan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
(Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal. 2) Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP) bertujuan untuk :
a. Menjaga aset Pemerintah Pusat dan instansi-instansinya melalui pencatatan, pemprosesan dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten sesuai dengan standar dan praktek akuntansi yan diterima secara umum;
b. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan kegiatan keuangan Pemerintah Pusat, baik secara nasional maupun instansi yang berguna sebagai dasar penilaian kinerja, untuk menentukan ketaatan terhadap otorisasi anggaran dan untuk tujuan akuntabilitas;
c. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu instansi dan Pemerintah Pusat secara keseluruhan;
d. Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan dan pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien.
Ciri-ciri Pokok Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
(Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal 3) Ciri-ciri pokok sistem akuntansi pemerintah pusat antara lain :
a. Basis Akuntansi
Cash toward Accrual. Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca. Basis Kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi atau peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas ata setara kas diterima atau dibayar.
b. Sistem Pembukuan Berpasangan
Sistem Pembukuan Berpasangan didasarkan atas persamaan dasar akuntasi yaitu : Aset = Kewajiban + Ekuitas Dana. Setiap transaksi dibukukan dengan mendebet sebuah perkiraan dan mengkredit perkiraan yang terkait.
c. Dana Tunggal
Kegiatan akuntansi yang mengacu kepada UU-APBN sebagai landasan operasional. Dana tunggal ini merupakan tempat dimana Pendapatan dan Belanja Pemerintah dipertanggungjawabkan sebagai kesatuan tunggal.
d. Desentralisasi Pelaksanaan Akuntansi
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan di instansi dilaksanakan secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah.
e. Bagan Perkiraan Standar
SAPP menggunakan perkiraan standar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku untuk tujuan penganggaran maupun akuntansi.
f. Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)
SAPP mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam melakukan pengakuan, penilaian, pencatatan, penyajian, dan pengungkapan terhadap transaksi keuangan dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
Kerangka Umum Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan kepada DPR sebagai pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Sebelum disampaikan kepada DPR, laporan keuangan pemerintah pusat tersebut diaudit terlebih dahulu oleh pihak BPK.
(Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal 3) Laporan keuangan pemerintah pusat terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran
Konsolidasi Laporan Realisasi Anggaran dari seluruh Kementerian Negara/Lembaga yang telah direkonsiliasi. Laporan ini menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggaran dalam satu periode.
b. Neraca Pemerintah
Neraca Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Neraca SAI dan Neraca SAKUN (Sistem Akuntansi Kas Umum Negara). Laporan in menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah pusat berkaitan dengan aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal/tahun anggaran tertentu.
c. Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Laporan Arus Kas dari seluruh Kanwil Ditjen PBN. Laporan ini menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan dan non anggaran
d. Catatan atas Laporan Keuangan
Merupakan penjelasan atau perincian atau analisis atas nilai suatu pos yang tersaji di dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca Pemerintah dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Klasifikasi Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
(Modul Sistem Akuntansi Instansi : Hal 5) Sistem akuntansi pemerintah pusat terdiri dari :
a. Sistem Akuntansi Pusat (SiAP);
Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan ( Ditjen PBN) dan terdiri dari:
.i. SAKUN (Sistem Akuntansi Kas Umum Negara) yang menghasilkan Laporan Arus Kas dan Neraca Kas Umum Negara (KUN);
.ii. SAU (Sistem Akuntansi Umum) yang menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU.
Pengolahan data dalam rangka penyusunan laporan keuangan SAU dan SAKUN, dilaksanakan oleh unit-unit Ditjen PBN yang terdiri dari:
i. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
ii. Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan (Kanwil Ditjen PBN);
iii. Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan.
b. Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga. Kementerian negara/lembaga melakukan pemrosesan data untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Dalam pelaksanaan SAI, kementerian negara/lembaga membentuk unit akuntansi keuangan (SAK) dan unit akuntansi barang (SABMN).
Unit akuntansi keuangan terdiri dari:
i. Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA);
ii. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran – Eselon1 (UAPPA-E1);
iii. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran – Wilayah (UAPPA-W);
iv. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) ;
Unit akuntansi barang terdiri dari:
i. Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
ii. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Eselon1 (UAPPB-E1);
iii. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Wilayah (UAPPB-W);
iv. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).
c. Jenis-jenis Laporan Keuangan
Laporan-laporan keuangan yang dapat dihasilkan dari proses komputerisasi SAPP adalah:
(Modul Sistem Akuntansi Instansi )

sumber : http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-GB%3Aofficial&channel=s&q=%22sistem+akuntansi+pemerintahan%22&aq=f&aqi=g2&aql=&oq=&gs_rfai=
READ MORE - Sistem Akuntansi
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent News

About me

Foto saya
Kediri, Jawa Timur, Indonesia
I am a student studying in the Magistra Utama, MU is the place I change to become a better, and learn to build a mature personality and maturity to achieve all the dreams of both the world and the hereafter

chat with other

Jumlah Pengunjung

Daftar Blog Saya

Pengikut

Arsip Blog